Situs
Museum Trinil dalam penelitian merupakan salah satu tempat hunian kehidupan
purba pada zaman Pleistosen Tengah, kurang lebih 1,5 juta tahun yang lalu.
Situs Trinil ini amat penting sebab di situs ini selain ditemukan data manusia
purba juga menyimpan bukti konkrit tentang lingkungannya, baik flora maupun
faunanya.
Museum Trinil terletak di
Jalan Raya Solo – Surabaya, Pedukuhan Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar,
kurang lebih 13 kilometer arah barat pusat kota Ngawi, dan untuk mencapai
lokasi ini dapat ditempuh dengan semua jenis kendaraan. Sayang sekali di jalan
arteri yang bisa menjadi petunjuk utama, tidak ada satupun patokan yang bisa
mengarahkan kita ke Museum tersebut. Kalau bertanya sama seseorang hanya
dijawab, “ Pokoknya belok ke gang yang ada gapura hitamnya,”. Akhirnya setelah
bertanya selama dua kali, sampailah kami di lokasi museum.
Pintu gerbang museum yang
sangat sederhana terlihat setelah masuk ke dalam 1 km dari jalan raya utama,
kemudian kami melapor ke pos penjaga untuk membayar tiket masuk. Memang luar
biasa murah kalau boleh dikatakan, bayangkan untuk melihat peradaban jutaan
tahun yang lalu hanya dikenakan biaya masuk seribu rupiah per orang. Ketika
masuk ke lokasi parkir, kesan pertama yang timbul adalah bahwa museum ini
kurang optimal perawatannya, terutama dalam hal fasilitas dan kebersihan.
Masuk ke dalam museum kami
mendapati ruangan yang dipenuhi dengan tulang-tulang manusia purba. Diantaranya
adalah : fosil tengkorak manusia purba ( Phitecantropus Erectus Cranium Karang
Tengah Ngawi ), fosil tengkorak manusia purba (Pithecantropus Erectus Cranium
Trinil Area), fosil tulng rahang bawah macan (Felis Tigris Mandi Bula Trinil
Area), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon Trigonocephalus Upper Molar
Trinil Area), fosil tulang paha manusia purba (Phitecantropus Erectus Femur
Trinil Area), fosil tanduk kerbau (Bubalus Palaeokerabau Horn Trinil Area),
fosil tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus Horn Trinil Area) dan fosil gading
gajah purba (Stegodon Trigonocephalus Ivory Trinil Area).
Disamping itu masih ada
beberapa fosil tengkorak : Australopithecus Afrinacus Cranium Taung Bostwana
Afrika Selatan, Homo Neanderthalensis Cranium Neander Dusseldorf Jerman dan
Homo Sapiens Cranium. Selain fosil-fosil tengkorak yang tersebut hal yang
menarik lainnya adalah, adanya sebuah tugu tempat penemuan manusia purba. Dulu
tak banyak orang tahu akan makna tugu itu, bahkan kemungkinan besar bisa rusak
kalau tidak dpelihara oleh seorang sukarelawan.
Wirodihardjo atau Wiro balung
alias Sapari dari Kelurahan Kawu adalah seorang sukarelawan yang menyadari
bahwa tugu itu mempunyai makna yang besar dan sangat berguna bagi penelitian
selanjutnya. Wajar ia berpendapat begitu, karena ia telah menyaksikan ekspedisi
atau penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan setelah penggalian yang dilakukan
E.Dubois dan Salenka. Orang asing atau mahasiswa datang silih berganti untuk
melakukan ekspedisi yang tentunya dengan biaya yang mahal. Oleh karena itu,
sebagai putra daerah tersebut, ia merasa ikut bertanggungjawab atas kelestarian
tempat itu.
Kehadiran Wirodiharjo di
Trinil sangat berarti, karena beliau menjadi tempat untuk bertanya para
pengunjung tentang fosil di Trinil. Walaupun tempat tersebut terkenal sebagai
daerah fosil, namun kenyataan waktu itu tidak satupun fosil yang ada di Trinil.
Untuk itulah ia mengumpulkan setiap fosil yang ditemukan di sungai Bengawan
Solo. Selain itu Pak Wiro juga mendapat laporan dari penduduk sekitar bahwa
mereka menemukan fosil. Dari hari ke hari fosil yang dikumpulkan dari tiga desa
; sebelah barat Desa Kawu, sebelah utara Desa Gemarang dan sebelah timur Desa
Ngancar bertambah banyak, atas tinjauan Kepala Seksi Kebudayaan Depdikbud Ngawi
waktu itu ( Pak Mukiyo ) ia mendapat bantuan tiga buah almari untuk menyimpan
fosil-fosil tersebut. Sejak saat itulah Pak Wirodiharjo terkenal dengan sebutan
Wiro Balung yang berarti Pak Wiro yang suka mengumpulkan balung-balung ( tulang
).
Dan selanjutnya pada tahun
1980/1981 Pemerintah daerah setempat mendirikan museum untuk menampung
fosil-fosil tersebut yang diresmikan oleh Bapak Gubernur Jatim “Soelarso” pada
tanggal 20 Nopember 1991. Namun sayang Wiro Balung sudah tiada sejak 1 April
1990 dan keahlian beliau diteruskan oleh anaknya Mas Sujono ( 37 ) yang sekarang
menjad juru kunci Museum Trinil. Selain dari diorama yang ada, Mas Sujono juga
banyak memberikan keterangan tambahan kepada kami.
Diantara tambahan keterangan
Mas Sujono yang sangat penting adalah,”Bahwasannya Trinil merupakan daerah
padang savanna pada masa lampau. Kenapa ? karena adanya manusia, banteng, gajah
dan hewan-hewan yang lain yang tumbuh di satu area. Hal ini cukup menunjukkan
kalau dulu daerah ini adalah savanna. Namun kemudian setelah adanya letusan
Gunung Lawu yang berturut-turut hancurlah peradaban yang ada di Trinil dan
sekitarnya,” kata Mas Sujono dengan mimik serius. Dengan melihat Museum Trinil
suatu kearifan dapat kita tarik dari berbagai temuan para ilmuwan tentang
manusia purba. Adalah suatu kenyataan bahwa dibalik keanekaragaman wujud
kehidupan kita dewasa ini, sesungguhnya ada kesamaan asal-usul kita seluruhnya
sebagai manusia.(AMGD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar